06.37 -
Cerpen
No comments
Demi Valentine
“Apakah gue harus mencuri uang?” Sebersit pikiran kerap mengganggu pikiran Domie, setiap kali ia merasakan jalan buntu.
Satu-satunya barang berharga yang dimiliki cuma telepon genggam, hadiah ulang tahun dari ibunya setahun yang lalu. Jika tiba-tiba benda itu raib, tak cuma Ibu, tapi seisi rumah pasti akan geger mempermasalahkannya. Dan tipis harapan untuk bisa memiliki lagi sebuah ponsel.
“Jika anak-anak lagi istirahat, atau pas jam olahraga di lapangan, gue bisa menyelinap masuk ke kelas dan mencuri uang dari salah satu tas,” pikir Domie lagi. Ia tahu, banyak anak orang kaya yang ke sekolah bawa uang ratusan ribu. “Tapi kalo katahuan? Resikonya gede, bisa dikeluarin dari sekolah. Dan malunya itu!”
Domie tentu saja tak ingin berbuat konyol. Mencuri bukan cuma konyol, tapi dosa besar. Domie cepat-cepat menepis pikiran jahat itu. Uang memang harus ia dapatkan, tapi mesti dengan cara yang halal.
“Dom, elo liburan mau ke mana?” tanya Zetta, yang batal keluar dari kelas ketika dilihatnya Domie masih terpekur di bangkunya.
“Ke mana, ya? Nggak kepikiran sama sekali, Zet. Elo sendiri?” Domie balik bertanya pada teman sekelas sekaligus tetangga dekatnya itu. Zetta tinggal satu blok dengan Domie.
“Gue kayaknya harus ngungsi ke rumah Tante di Depok.”
“Emang kenapa? Takut banjir? Emang daerah kita banjir? Enggak, kan?”.
“Enggak, sih. Tapi kebetulan sebentar lagi rumah mau direnovasi. Nyokap pengen kamar anak-anak dipisah semua. Enak juga ngebayangin bakal punya kamar sendiri, jauh dari usilnya si Beng, adik gue itu. Tapi jadi repot selama rumah dibenahi. Mendingan gue ngungsi aja, daripada ntar terpaksa bantu-bantu jadi kuli bangunan. Hi hi hi....”
Domie cukup kenal dengan keluarga Zetta. Mereka keluarga paling kaya di Blok H. Sebersit pikiran muncul di benak Domie.
“Emang siapa yang bakal ngerenovasi, Zet?”
“Paling juga tetangga-tetangga kita sendiri. Atau orang-orang dari kampung belakang. Kayaknya sih bukan pekerjaan yang berat. Paling juga makan waktu seminggu, pas sama masa liburan kita. Jadi ntar, sepulang dari Depok, rumah udah beres lagi.”
“Bagus deh kalo gitu,” kata Domie.
“Bagus apanya?”
“Eh, elo jadi punya alasan untuk liburan ke Depok.”
“Elo mau juga?”
“Mau apa?”
“Liburan ke Depok.”
“Maksud elo?”
“Yaaa, siapa tahu elo mau nganter gue ke sana.”
Domie tercenung sebentar. “Kayaknya enggak deh, Zet.”
Zetta cemberut.
“Gue mendadak ada rencana baru buat ngisi liburan kita nanti.”
“Uh? Kok mendadak? Elo ngiri, ya?”
“Nggak! Bukan! Gue emang punya rencana.”
“Pasti elo mau nyusun karya tulis, buat diikutin Lomba Karya Ilmiah pertengahan tahun nanti, ya? Ya udah, kerjain aja!” Zetta mendengus kesal dan meninggalkan Domie. Domie cuma mengawasi cewek manis itu menghilang di luar kelas.
Tante Zelda mengawasi cara kerja Domie yang cekatan. Meski bukan seorang tukang cat profesional, Domie terlihat bisa belajar dengan cepat. Ia menggerakkan kuas dengan benar, membuat hampir tak ada setitik pun cat yang menetes di lantai.
“Yang di kamar anak-anak warnanya pink, ya.” Tante Zelda mengingatkan. “Gudangnya tetep kuning aja, biar terang.”
“Iya, Tante.” Domie menjawab sambil terus menyapukan kuas cat ke tembok. Sebenarnya Domie agak gugup ditunggui Tante Zelda. Di rumah ini ada dua orang tukang batu dan tiga tenaga serabutan, tapi Tante Zelda lebih sering mengawasi dan menunggui Domie bekerja. Pasti karena Tante Zelda merasa paling dekat dengan Domie.
“Mungkin juga karena kasihan,” pikir Domie.
“Kamu nggak dimarahi orangtuamu, Dom?”
“Enggak, Tante. Bapak dan Ibu justru senang karena saya mau bekerja. Jadi kuli juga nggak apa-apa, yang penting halal.”
“Iya, ya. Lagian bagus juga kalo masih semuda kamu udah mau bekerja. Cuma, apa nggak sayang karenanya kamu jadi kehilangan acara liburan sekolah kamu?”
“Kebetulan saya nggak ada acara, Tante. Liburan cuma diam di rumah terus juga bosen. Eh, Zetta sama Beng kapan pulangnya?”
“Katanya sih Sabtu sore, dianter tantenya sendiri. Senin, kalian udah masuk sekolah lagi, kan?”
Domie mengangguk. Lalu, “Tapi janji ya, Tante. Tante nggak usah bilang-bilang ke Zetta bahwa saya jadi kuli di sini.”
“Lho, siapa bilang kamu jadi kuli? Kamu jadi tukang cat, dan nyatanya kamu bisa bekerja dengan baik. Kamu bakal nerima upah yang sepadan, karena hasil pekerjaanmu emang baik.”
“Iya, tapi tolong nggak usah bilang saya kerja di sini, ya....”
“Kenapa? Malu? Pekerjaan halal kok malu! Di negeri ini banyak yang sukanya mencuri uang rakyat tapi mereka pada nggak malu.”
“Kok Tante ngomongnya jadi ke mana-mana?” Domie menghentikan gerakan kuasnya. “Saya memang malu kalo ketahuan Zetta saya kerja di sini. Kalo aja Zetta nggak pergi liburan ke Depok, belum tentu saya sanggup meminta pekerjaan di rumah ini.”.
Tante Zelda menganguk-angguk paham. Ia bisa memaklumi jalan pikiran Domie. “Ya wis, kamu terusin kerjamu. Tante tinggal dulu untuk nengok kerjaan Pak Rodi, ya? Kalo udah waktunya makan siang, kamu harus makan. Ambil aja sendiri di meja makan dalam. Kamu nggak usah makan bareng mereka. Oke?”
“Oke, Tante!” Domie merasa senang karena ia sangat diistimewakan di rumah ini.
Domie meneruskan pekerjaannya dengan hati riang. Semangatnya kian tumbuh ketika ia membayangkan satu masalah akan segera dapat diselesaikannya. Kado Valentine yang akan dipersembahkannya buat Laudia bukan lagi impian kosong semata.
Sebuah arloji berbentuk hati seharga tiga rutus ribu rupiah itu adalah hadiah paling pas buat Laudia di hari Valentine. Hadiah yang harus ditebus dengan hasil kerja keras dan keringatnya sendiri.
Lagi-lagi Domie tersenyum.
***
Sebuah keributan terdengar dari luar.
“Gue bilang juga apa? Anak kecil maunya ikutan mulu! Damn! Sekarang apa coba? Baru juga tiga hari udah merengek-rengek minta pulang! Dasar!”
“Udah deh, sabar juga kenapa sih? Beng emang nggak mungkin bakal tahan terlalu lama kalo nggak dikelonin emaknya!” suara Tante Zelda.
Suara yang satunya lagi siapa?
“Tau begini mendingan dulu nggak usah ikut. Nyesel tujuh turunan deh gue ngajak Beng.”
Zetta?
“Ya udah, kamu boleh balik lagi ke Depok. Beng biar di rumah aja.”
“Huh, liburan tinggal tiga hari ngapain balik ke Depok! Tanggung!”
Ya, siapa lagi pemilik suara cempreng itu kalau bukan Zetta..
Zetta! Oh my God, itu memang Zetta!
“Mau ke mana, Sayang?”
“Nengokin calon kamar baru gue!”
“Eh, tunggu!!! Sini, kita makan dulu. Kamu belum makan, kan? Ini Mama bikin udang saus tiram kesukaanmu. Tunggu!!!”
“Makan aja sama Beng-Beng! Dasar anak mami!”
Terdengar suara kaleng cat kosong terjatuh. Mungkin Zetta sengaja menendangnya.
“Ya Allah!! Dom???!!! Ngapain elo di kamar gue?”
Domie tak berkutik, turun dari tangga segitiga dengan wajah pucat.
“Gue kerja di rumah elo, Zet.”
“Yaaah elo ini! Surprais banget, Dom. Tapi kenapa juga elo nggak bilang-bilang dari dulu. Kalo tau elo bakal ikutan kerja di sini, ngapain juga gue capek-capek ke Depok!” Zetta menatap Domie dengan takjub plus sesal. “Kan gue bisa bantu-bantu elo, Dom. Kita bisa ngobrol juga.”
“Gue... gue malu, Zet. Gue malu kalo ketahuan gue jadi kuli tukang cat di rumah elo sendiri.”
“Ngapain malu? Halal, kan? Daripada mencuri! Gue malah salut, karena elo mau kerja keras. Elo nggak cengeng, nggak jaim kayak teman kita yang lain.”
“Persis seperti ucapan ibunya tempo hari,” batin Domie. “Ibu dan anak sama-sama berhati mulia”
“Tapi tunggu dulu, Dom! Gue jadi curiga sekarang. Elo ini bukan dari keluarga yang pas-pasan. Ortu elo dua-duanya kerja. Bokap elo guru, nyokap elo pegawai negeri juga. Lalu buat apa elo memeras keringat kayak gini?” Zetta menatap Domie tanpa berkedip. Matanya penuh selidik. “Elo cuman mau nyari sensasi, atau ...?”
“Gue kepepet, Zet.”
“Punya utang maksud elo?”
“Bukan! Gue kudu ngumpulin duit buat beli kado Valentine’s Day bentar lagi.”
Zetta makin melotot. “Hah? Jadi elo lagi mgumpulin duit buat beli kado Valentine?!”
“Iya,” jawab Domie datar. “Nggak mungkin juga kan gue nodong ortu buat beli hadiah untuk...”
“Pacar elo? Elo punya pacar, Dom?”
“Gue mau nembak, Zet. Kayaknya pas banget kalo manfaatin moment Hari Kasih Sayang nanti.”
“Siapa cewek sial yang bakalan elo tembak, Dom? Siapa perempuan malang itu?” Zetta berpaling menyembunyikan wajah pucatnya.
“Laudia.”
“Hah?! Laudia?”.
“Iya. Emang kenapa?”
“Anak kelas 11 B itu, kan?”
Domie mengangguk pasrah.
“Pantesan kalo gitu. Pantesan elo bela-belain kerja keras pas libur sekolah kayak gini. Nggak taunya elo emang punya tujuan yang menurut gue rada mustahil. Emang elo mau hadiahi apa?”
“Arloji hati, harganya tiga ratus ribu perak,” kata Domie apa adanya. Kepalang basah, ia harus mengatakan semuanya pada Zetta. Domie berharap, Zetta bisa memberinya masukan yang berguna.
“Aduh, romantisnya!” jerit Zetta dalam bisikan. Zetta berharap, Domie tidak mendengarnya.
“Menurut elo gimana, Zet? Cocok enggak? Kalo warnanya pink keliatan norak enggak, sih? Atau malah cocok sama nuansa Valentine?”
“Terserah elo aja!” Zetta keluar dari kamar yang pengap oleh bau cat itu dengan wajah tak sedap dipandang.
Domie terlongong.
Tapi tiga detik kemudian Zetta kembali masuk ke kamar itu.
“Elo ini tolol atau gimana sih, Dom? Elo tau enggak sih, Laudia itu siapa? Dia itu bintang sinetron! Artis! Seleb!”
Domie tersentak melihat betapa marahnya Zetta.
“Lalu elo ini siapa? Cuma anak guru, murid biasa, bukan siapa-siapa! Ngaca doooonk...!!!”
Memucat wajah Domie. Tapi sebelum ia bisa berkata-kata, mendadak Zetta sudah berlari meninggalkannya.
Domie tak tahu, di kamar yang lain Zetta tengah menangis tersedu-sedu menyesali nasibnya. Hatinya hancur lebur. Zetta tengah membayangkan betapa indahnya hidup ini jika ia yang akan menerima perhatian dan usaha yang begitu gigih dari Domie.
Domie memang tak pernah tahu bahwa selama ini Zetta begitu mengagumi dan mengharapkan cintanya..
Satu-satunya barang berharga yang dimiliki cuma telepon genggam, hadiah ulang tahun dari ibunya setahun yang lalu. Jika tiba-tiba benda itu raib, tak cuma Ibu, tapi seisi rumah pasti akan geger mempermasalahkannya. Dan tipis harapan untuk bisa memiliki lagi sebuah ponsel.
“Jika anak-anak lagi istirahat, atau pas jam olahraga di lapangan, gue bisa menyelinap masuk ke kelas dan mencuri uang dari salah satu tas,” pikir Domie lagi. Ia tahu, banyak anak orang kaya yang ke sekolah bawa uang ratusan ribu. “Tapi kalo katahuan? Resikonya gede, bisa dikeluarin dari sekolah. Dan malunya itu!”
Domie tentu saja tak ingin berbuat konyol. Mencuri bukan cuma konyol, tapi dosa besar. Domie cepat-cepat menepis pikiran jahat itu. Uang memang harus ia dapatkan, tapi mesti dengan cara yang halal.
“Dom, elo liburan mau ke mana?” tanya Zetta, yang batal keluar dari kelas ketika dilihatnya Domie masih terpekur di bangkunya.
“Ke mana, ya? Nggak kepikiran sama sekali, Zet. Elo sendiri?” Domie balik bertanya pada teman sekelas sekaligus tetangga dekatnya itu. Zetta tinggal satu blok dengan Domie.
“Gue kayaknya harus ngungsi ke rumah Tante di Depok.”
“Emang kenapa? Takut banjir? Emang daerah kita banjir? Enggak, kan?”.
“Enggak, sih. Tapi kebetulan sebentar lagi rumah mau direnovasi. Nyokap pengen kamar anak-anak dipisah semua. Enak juga ngebayangin bakal punya kamar sendiri, jauh dari usilnya si Beng, adik gue itu. Tapi jadi repot selama rumah dibenahi. Mendingan gue ngungsi aja, daripada ntar terpaksa bantu-bantu jadi kuli bangunan. Hi hi hi....”
Domie cukup kenal dengan keluarga Zetta. Mereka keluarga paling kaya di Blok H. Sebersit pikiran muncul di benak Domie.
“Emang siapa yang bakal ngerenovasi, Zet?”
“Paling juga tetangga-tetangga kita sendiri. Atau orang-orang dari kampung belakang. Kayaknya sih bukan pekerjaan yang berat. Paling juga makan waktu seminggu, pas sama masa liburan kita. Jadi ntar, sepulang dari Depok, rumah udah beres lagi.”
“Bagus deh kalo gitu,” kata Domie.
“Bagus apanya?”
“Eh, elo jadi punya alasan untuk liburan ke Depok.”
“Elo mau juga?”
“Mau apa?”
“Liburan ke Depok.”
“Maksud elo?”
“Yaaa, siapa tahu elo mau nganter gue ke sana.”
Domie tercenung sebentar. “Kayaknya enggak deh, Zet.”
Zetta cemberut.
“Gue mendadak ada rencana baru buat ngisi liburan kita nanti.”
“Uh? Kok mendadak? Elo ngiri, ya?”
“Nggak! Bukan! Gue emang punya rencana.”
“Pasti elo mau nyusun karya tulis, buat diikutin Lomba Karya Ilmiah pertengahan tahun nanti, ya? Ya udah, kerjain aja!” Zetta mendengus kesal dan meninggalkan Domie. Domie cuma mengawasi cewek manis itu menghilang di luar kelas.
Tante Zelda mengawasi cara kerja Domie yang cekatan. Meski bukan seorang tukang cat profesional, Domie terlihat bisa belajar dengan cepat. Ia menggerakkan kuas dengan benar, membuat hampir tak ada setitik pun cat yang menetes di lantai.
“Yang di kamar anak-anak warnanya pink, ya.” Tante Zelda mengingatkan. “Gudangnya tetep kuning aja, biar terang.”
“Iya, Tante.” Domie menjawab sambil terus menyapukan kuas cat ke tembok. Sebenarnya Domie agak gugup ditunggui Tante Zelda. Di rumah ini ada dua orang tukang batu dan tiga tenaga serabutan, tapi Tante Zelda lebih sering mengawasi dan menunggui Domie bekerja. Pasti karena Tante Zelda merasa paling dekat dengan Domie.
“Mungkin juga karena kasihan,” pikir Domie.
“Kamu nggak dimarahi orangtuamu, Dom?”
“Enggak, Tante. Bapak dan Ibu justru senang karena saya mau bekerja. Jadi kuli juga nggak apa-apa, yang penting halal.”
“Iya, ya. Lagian bagus juga kalo masih semuda kamu udah mau bekerja. Cuma, apa nggak sayang karenanya kamu jadi kehilangan acara liburan sekolah kamu?”
“Kebetulan saya nggak ada acara, Tante. Liburan cuma diam di rumah terus juga bosen. Eh, Zetta sama Beng kapan pulangnya?”
“Katanya sih Sabtu sore, dianter tantenya sendiri. Senin, kalian udah masuk sekolah lagi, kan?”
Domie mengangguk. Lalu, “Tapi janji ya, Tante. Tante nggak usah bilang-bilang ke Zetta bahwa saya jadi kuli di sini.”
“Lho, siapa bilang kamu jadi kuli? Kamu jadi tukang cat, dan nyatanya kamu bisa bekerja dengan baik. Kamu bakal nerima upah yang sepadan, karena hasil pekerjaanmu emang baik.”
“Iya, tapi tolong nggak usah bilang saya kerja di sini, ya....”
“Kenapa? Malu? Pekerjaan halal kok malu! Di negeri ini banyak yang sukanya mencuri uang rakyat tapi mereka pada nggak malu.”
“Kok Tante ngomongnya jadi ke mana-mana?” Domie menghentikan gerakan kuasnya. “Saya memang malu kalo ketahuan Zetta saya kerja di sini. Kalo aja Zetta nggak pergi liburan ke Depok, belum tentu saya sanggup meminta pekerjaan di rumah ini.”.
Tante Zelda menganguk-angguk paham. Ia bisa memaklumi jalan pikiran Domie. “Ya wis, kamu terusin kerjamu. Tante tinggal dulu untuk nengok kerjaan Pak Rodi, ya? Kalo udah waktunya makan siang, kamu harus makan. Ambil aja sendiri di meja makan dalam. Kamu nggak usah makan bareng mereka. Oke?”
“Oke, Tante!” Domie merasa senang karena ia sangat diistimewakan di rumah ini.
Domie meneruskan pekerjaannya dengan hati riang. Semangatnya kian tumbuh ketika ia membayangkan satu masalah akan segera dapat diselesaikannya. Kado Valentine yang akan dipersembahkannya buat Laudia bukan lagi impian kosong semata.
Sebuah arloji berbentuk hati seharga tiga rutus ribu rupiah itu adalah hadiah paling pas buat Laudia di hari Valentine. Hadiah yang harus ditebus dengan hasil kerja keras dan keringatnya sendiri.
Lagi-lagi Domie tersenyum.
***
Sebuah keributan terdengar dari luar.
“Gue bilang juga apa? Anak kecil maunya ikutan mulu! Damn! Sekarang apa coba? Baru juga tiga hari udah merengek-rengek minta pulang! Dasar!”
“Udah deh, sabar juga kenapa sih? Beng emang nggak mungkin bakal tahan terlalu lama kalo nggak dikelonin emaknya!” suara Tante Zelda.
Suara yang satunya lagi siapa?
“Tau begini mendingan dulu nggak usah ikut. Nyesel tujuh turunan deh gue ngajak Beng.”
Zetta?
“Ya udah, kamu boleh balik lagi ke Depok. Beng biar di rumah aja.”
“Huh, liburan tinggal tiga hari ngapain balik ke Depok! Tanggung!”
Ya, siapa lagi pemilik suara cempreng itu kalau bukan Zetta..
Zetta! Oh my God, itu memang Zetta!
“Mau ke mana, Sayang?”
“Nengokin calon kamar baru gue!”
“Eh, tunggu!!! Sini, kita makan dulu. Kamu belum makan, kan? Ini Mama bikin udang saus tiram kesukaanmu. Tunggu!!!”
“Makan aja sama Beng-Beng! Dasar anak mami!”
Terdengar suara kaleng cat kosong terjatuh. Mungkin Zetta sengaja menendangnya.
“Ya Allah!! Dom???!!! Ngapain elo di kamar gue?”
Domie tak berkutik, turun dari tangga segitiga dengan wajah pucat.
“Gue kerja di rumah elo, Zet.”
“Yaaah elo ini! Surprais banget, Dom. Tapi kenapa juga elo nggak bilang-bilang dari dulu. Kalo tau elo bakal ikutan kerja di sini, ngapain juga gue capek-capek ke Depok!” Zetta menatap Domie dengan takjub plus sesal. “Kan gue bisa bantu-bantu elo, Dom. Kita bisa ngobrol juga.”
“Gue... gue malu, Zet. Gue malu kalo ketahuan gue jadi kuli tukang cat di rumah elo sendiri.”
“Ngapain malu? Halal, kan? Daripada mencuri! Gue malah salut, karena elo mau kerja keras. Elo nggak cengeng, nggak jaim kayak teman kita yang lain.”
“Persis seperti ucapan ibunya tempo hari,” batin Domie. “Ibu dan anak sama-sama berhati mulia”
“Tapi tunggu dulu, Dom! Gue jadi curiga sekarang. Elo ini bukan dari keluarga yang pas-pasan. Ortu elo dua-duanya kerja. Bokap elo guru, nyokap elo pegawai negeri juga. Lalu buat apa elo memeras keringat kayak gini?” Zetta menatap Domie tanpa berkedip. Matanya penuh selidik. “Elo cuman mau nyari sensasi, atau ...?”
“Gue kepepet, Zet.”
“Punya utang maksud elo?”
“Bukan! Gue kudu ngumpulin duit buat beli kado Valentine’s Day bentar lagi.”
Zetta makin melotot. “Hah? Jadi elo lagi mgumpulin duit buat beli kado Valentine?!”
“Iya,” jawab Domie datar. “Nggak mungkin juga kan gue nodong ortu buat beli hadiah untuk...”
“Pacar elo? Elo punya pacar, Dom?”
“Gue mau nembak, Zet. Kayaknya pas banget kalo manfaatin moment Hari Kasih Sayang nanti.”
“Siapa cewek sial yang bakalan elo tembak, Dom? Siapa perempuan malang itu?” Zetta berpaling menyembunyikan wajah pucatnya.
“Laudia.”
“Hah?! Laudia?”.
“Iya. Emang kenapa?”
“Anak kelas 11 B itu, kan?”
Domie mengangguk pasrah.
“Pantesan kalo gitu. Pantesan elo bela-belain kerja keras pas libur sekolah kayak gini. Nggak taunya elo emang punya tujuan yang menurut gue rada mustahil. Emang elo mau hadiahi apa?”
“Arloji hati, harganya tiga ratus ribu perak,” kata Domie apa adanya. Kepalang basah, ia harus mengatakan semuanya pada Zetta. Domie berharap, Zetta bisa memberinya masukan yang berguna.
“Aduh, romantisnya!” jerit Zetta dalam bisikan. Zetta berharap, Domie tidak mendengarnya.
“Menurut elo gimana, Zet? Cocok enggak? Kalo warnanya pink keliatan norak enggak, sih? Atau malah cocok sama nuansa Valentine?”
“Terserah elo aja!” Zetta keluar dari kamar yang pengap oleh bau cat itu dengan wajah tak sedap dipandang.
Domie terlongong.
Tapi tiga detik kemudian Zetta kembali masuk ke kamar itu.
“Elo ini tolol atau gimana sih, Dom? Elo tau enggak sih, Laudia itu siapa? Dia itu bintang sinetron! Artis! Seleb!”
Domie tersentak melihat betapa marahnya Zetta.
“Lalu elo ini siapa? Cuma anak guru, murid biasa, bukan siapa-siapa! Ngaca doooonk...!!!”
Memucat wajah Domie. Tapi sebelum ia bisa berkata-kata, mendadak Zetta sudah berlari meninggalkannya.
Domie tak tahu, di kamar yang lain Zetta tengah menangis tersedu-sedu menyesali nasibnya. Hatinya hancur lebur. Zetta tengah membayangkan betapa indahnya hidup ini jika ia yang akan menerima perhatian dan usaha yang begitu gigih dari Domie.
Domie memang tak pernah tahu bahwa selama ini Zetta begitu mengagumi dan mengharapkan cintanya..
0 komentar:
Posting Komentar