07.35 -
Cerpen
No comments
E . L . I . N
“Pengecut kamu, Nu! Mana Kinu temanku yang gentle, yang selalu siap sedia mempertanggung jawabkan semua ucapannya. Sekarang yang ada cuma Kinu yang pengecut!”
Apanya yang aneh kalau seorang cowok tertarik sama cewek, wajar kan. Cuma masalahnya yang membuat banyak orang gak abis pikir adalah si Kinu, ternyata selera si Kinu bener-bener payah, semua menyayangkan kenapa cowok sekeren Kinu tertarik sama cewek yang tergolong out of date macam Elin?
“Samber gledek si Elin,” komentar Rara iri hati, cewek manis yang sudah lama jatuh hati sama Kinu.
“Amit-amit deh, apa nggak salah pilih si Kinu, kena pelet kali dia,” komentar Tia pula, cewek yang juga udah lama menanti cinta Kinu, dan banyak lagi gunjingan gak enak mereka yang penasaran sekaligus iri.
“Apanya si Elin sih yang menarik,” ketus yang lain lagi.
“Kacamatanya kali,” cibir Mia, yang membuar suasana jadi gerrrr! Celaan itu “kena”, soalnya kacamata Elin itu tebal banget kayak pantat botol.
Gitu deh, soal Kinu yang akhirnya memilih Elin menjalar ke seantero sekolahan dengan cepat, ditambah dengan bumbu bumbu gosip lainnya, berita itu jadi topik yang terus jadi bahan pembicaraan. Sedangkan Kinu, si punya cinta jadi kecut hatinya karena terus jadi bahan pembicaraan. Saat teman temannya membicarakan cewek-cewek yang paling cakep satu sekolahan, Kinu diam saja, dia tau, Elin itu tidak cantik, malah norak dan kuno, tapi ntah kenapa Kinu lebih memilih Elin daripada yang lain.
“Seleramu itu yang gimana sih, Nu. Kan ada Lorita, Widuri, Made, Rara, Tia, Mia, mereka cantik-cantik, keren abis. Kamu nggak tertarik sama mereka?” tanya Dodo, teman sebangku Kinu.
“Nggak,” jawab Kinu kalem.
“Seleramu itu sebenarnya yang gimana sih?” tanya Bim pula sambil garuk-garuk kepala. “Kalau aku jadi Kamu, udah habis tuh cewek-cewek aku jadikan pacar.”
“Elin sebenarnya juga sangat menarik,” jawab Kinu mengejutkan kedua temannya. Ya, siapa yang nggak kenal Elin, bukan karena kecantikannya, tapi karena dia barang kuno satu satunya milik sekolah mereka, bisik kedua teman Kinu sambil ketawa.
Kinu memang tergolong alim, nggak memanfaatkan kepopulerannya, banyak cewek yang ingin mendapat perhatian khusus darinya, tapi… beruntung banget si Elin.
“Nu, yang bener nih…?” tanya Dodo masih nggak yakin.
“Bener,” jawab Kinu tegas. “Penampilannya menurutku nggak norak, tapi unik.”
Dodo dan Bim ketawa lagi mendengar ucapan Kinu, kemudian mereka mencoba menganggap itu hanya candaan Kinu saja, tapi dalam sekejap langsung mereka sebar lewat SMS komentar Kinu tentang Elin itu, yang dalam sekejap disebarkan lagi dari mulut ke mulut, membuat suasana makin heboh, semua anak mencoba menanggapi kalau Elin itu unik di mata Kinu, maka tambah ramai deh pergunjingan, yang ujung-ujungnya hanya karena mereka iri dan gak rela si keren Kinu jatuh dalam pelukan si kuno E-L-I-N.
Kinu kelabakan karena nggak nyangka akan begini jadinya. Di mana-mana dia jadi bahan pembicaraan, berita flu burung yang mewabah aja nggak ada apa-apanya dibandingkan berita Kinu dan Elin. Bagi Kinu, semua itu gak ada masalah, tapi dia risau juga dengan perasaan Elin, takut cewek itu nggak kuat, apalagi mulut teman-temannya makin kurang ajar dan keterlaluan ngeledek Elin, bisa-bisa Elin tersinggung.
Kinu udah kenal baik sama Elin, cuma Kinu nggak tau Elin perasa apa nggak. Yang ditakutkan Kinu, Elin jadi tertekan.
Bagi Kinu, Elin bukanlah cewek yang bodoh, juga bukan kuper, dia bisa bergaul, wawasannya juga luas. Kinu betah ngobrol sama dia karena dia banyak tau tentang musik, film, buku buku, sampe flu burung.
Elin juga bukan cewek yang gampang ge-er, ini juga yang disukai Kinu, soalnya Kinu sering ketemu cewek yang over kalau ngobrol sama dia. Maunya cari perhatian melulu, ternyata pengetahuannya minim. Makanya penilaian Kinu rendah sama teman-teman ceweknya yang laen.
Yang nggak kalah bikin Kinu penasaran, Elin itu juga bukan anak orang miskin, bapaknya seorang pengacara, ibunya karyawan bank. Kalau mau bokapnya pasti dengan gampang membelikannya contact lens yang dapat menyimpan mata-nya. Atau setidaknya, kan banyak bingkai kacamata model terbaru dan lensa yang tipis, tapi berkemampuan maksimal yang bisa mempercantik penampilannya.
Anehnya Elin masih saja setia dengan kacamata zaman baheula yang lensanya kayak pantat botol itu.
Belum lagi model rambutnya yang nggak masuk hitungan potongan modern, semua orang suka ngerumpiin rambut model shagy, rebonding, si Elin tetap aja teguh mempertahankan rambut kepang dua.
Kinu jadi ingat diskusi-diskusi yang sering mereka jalani di ruang OSIS, mereka memang aktif berorganisasi, juga di klub fisika, karena itu mereka banyak punya kesempatan untuk bertemu. Ini pula yang membuat Kinu jadi gelisah, dia mulai was-was bertemu muka dengan Elin.
Dan ketakutannya itu terjadi juga ketika Kinu lagi sendirian di ruang OSIS, tiba-tiba muncul sesosok tubuh yang akhir-akhir ini selalu mebayangi hari-harinya, Elin! Kinu jadi salting, serba salah.
“Apa maksud kamu membuat sensasi murahan itu, Nu?”
Kinu terdiam, dia gak bisa menerangkan apa yang telah terjadi.
“Pengecut kamu, Nu! Mana Kinu temanku yang gentle, yang selalu siap sedia mempertanggung jawabkan semua ucapannya. Sekarang yang ada cuma Kinu yang pengecut!”
Kinu makin terdiam.
“Aku tau kamu banyak disukai cewek cewek, nggak susah buat kamu memiliki satu di antara mereka, tapi apa perlunya kamu bikin ulah yang memalukan begitu?”
Kinu tambah tercekat, tak berani dia memandang bola mata Elin di balik pantat bo….
“Dulu aku bangga punya temen kayak kamu, kita cepat akrab. Kamu ganteng, pintar, alim, gak pilih-pilih teman. Kita sering ngobrolin apa aja yang menyenangkan, kita banyak punya kesamaan, sama sama belajar tentang banyak hal….” Elin diam sejenak, mengambil napas.
“Terus terang, dari dulu aku jarang ketemu sahabat sekeren kamu, karena itu aku bangga banget jadi teman kamu, jadi teman bicara kamu, jadi teman ngobrol kamu pulang sekolah, tapi sekarang kamu mulai berubah….”
Kinu mendongakkan kepalanya sejenak, tertarik oleh kalimat Elin yang terakhir. Berubah? Apanya yang berubah dalam diriku, pikir Kinu.
“Kamu mulai kelebihan mulut sekarang!” tegas Elin.
Kinu seperti dibanting, lalu perlahan Elin keluar ruangan.
Kinu menarik napas panjang….
Kinu merasa jatuh terhempas, K O.
“Kamu harus minta maaf, anggap saja semua kesalahan kamu, Nu,” komentar Dodo saat Kinu nggak mampu lagi merahasiakan masalahnya.
“Aku juga bermaksud begitu. Anak-anak sih….”
“Lalu, tunggu apa lagi?” sahut Bim.
“Di mana dan kapan aku harus melakukannya, yang penting supaya masalahnya nggak tambah besar,” ujar Kinu sambil membayangkan bagaimana reaksi teman-temannya kalau mereka tau dia menemui Elin dan bicara baik-baik dengan cewek itu untuk minta maaf. Bisa terjadi gempa bumi di sekolahan!
“Datang aja langsung ke rumahnya, besok kan malam Minggu,” usul Bim.
“Malam Minggu?”
“Iya, datang saja, aku setuju, malam Minggu kan bukan spesial buat pacaran, tapi karena gak ada pe-er,” tambah Dodo sok tau sambil cengengesan.
Kinu menimbang-nimbang sesaat, karena nggak ada jalan lain yang terbaik, akhirnya Kinu menyetujui usul dua sohibnya.
Dodo dan Bim kasihan juga melihat Kinu, bagi mereka Kinu bisa menggaet cewek mana pun, tapi Kinu nggak pernah memanfaatkan kegantengannya untuk memacari banyak cewek.
Sabtu malam Minggu, Kinu sudah berada di depan rumah Elin. Rumah ortu Elin megah dan mentereng, bergaya mediterania, halamannya ditata dengan berbagai aneka tanaman yang serba indah dengan lampu taman yang menyala di beberapa sudutnya. Kontras dengan pemilik yang tinggal di dalamnya, terutama Elin, pikir Kinu.
Dengan dada berdebar debar Kinu memasuki gerbang yang terbuka, seakan baru saja ada kendaraan yang masuk pulang bepergian, dia tak tahu harus permisi kepada siapa karena tidak ada orang menjaga pagar juga tidak ada anjing galak, lalu sampai di depan pintu, Kinu berdoa dalam hati kemudian memencet bel, tangannya bergetar.
Cuma beberapa detik Kinu termangu-menunggu, lalu terdengar kunci pintu diputar. Mata Kinu terbelalak.
Di hadapannya berdiri seorang cewek seperti bidadari turun dari kayangan tersenyum ke arahnya. Tapi belum sempat Kinu membalas senyum itu, sang tuan rumah kembali menarik senyumnya begitu dia tahu siapa yang datang, bahkan tarikan senyumnya itu sedemikian tajamnya sehingga membentuk cemberut yang sadis nian.
“Ada apa, Nu?” suara Elin datar tapi lembut. Suara yang begitu dikenal Kinu, suara Elin, tapi mungkinkah…?
“Masuk, Nu….”
Kinu yakin itu adalah suara Elin, lagipula siapa yang dia kenal di rumah ini selain Elin. Saking bengongnya sampai Kinu tak menghiraukan ajakan gadis itu untuk masuk ke dalam.
Gadis itu mengulanginya kembali.
“Ayo masuk, Nu.”
Kinu tersadar, diikutinya langkah gadis itu menuju ruang tamu yang tergolong mewah, tapi Kinu tak tertarik untuk memperhatikannya, dia benar-benar lebih tertarik pada gadis yang menemuinya itu. Dia sedikit ragu, benarkah…?
“Ka… kamu… Elin kan?” akhirnya terlontar rasa penasarannya, mata Kinu menatap tak berkedip.
Yang ditatap cuma tersenyum mengangguk.
Kinu meneguk liurnya, tak tau apa yang harus dilontarkannya sebagai pembuka kata. Hanya matanya yang masih lekat memancar pujian kagum tak percaya.
Elin yang ada di depannya sungguh sangat jauh berbeda dengan yang ditemuinya sehari hari di sekolah. Hidungnya yang mancung sempurna kini nampak jelas karena kacamata setebal pantat botol cocacola itu tidak lagi nangkring di atasnya, dan ternyata Elin dapat berjalan dengan baik tanpa kacamata itu. Matanya tampak begitu cerah dan hidup, berwarna kebiru-biruan yang lembut seperti mata bule.
Rambut yang biasa dikepang dua itu pun kini telah rapi dan lurus karena direbonding, lepas tergerai. Lebih indah lagi terlihat kala dia menggerakkan kepala, rambut itu pun ikut bergerak gerak indah sekali. Tank top yang dipakainya jelas membuat dia ternyata memiliki body yang seksi, anting-anting bundar berwarna pink membuat wajahnya semakin bersinar indah.
Sampai beberapa jenak kebisuan berlangsung, hingga Elin merasa jengah dipandangi Kinu terus menerus.
“Ada apa sih, Nu?”
Kinu tersadar.
“Hm… anu, anu… Aku….” Kinu gelagepan. “Ehm… aku ke sini ada perlu….”
“Perlu apa?”
“Ehm, aku kesini, mau meminta maaf sama kamu.” Plong perasaan Kinu, akhirnya terlepas juga beban yang dipikulnya beberapa hari terakhir ini.
Elin tertunduk, terus terang dia sakit hati dengan ulah Kinu, karena dia telah jadi bahan tertawaan di sekolah, hingga tadi pulang sekolah dia mendadak ke optic bersama mamanya membeli contact lens dengan sistim sepuluh menit, juga ke salon. Elin berharap mereka tak menertawakannya lagi.
“Iya deh, aku memafkanmu,” jawab Elin lirih, bagaimana pun juga dia menghargai sikap Kinu yang mau mengakui kesalahannya.
Kinu mengangguk-angguk, senang sekali dia. Suasana jadi sedikit lebur, Kinu tersenyum, Elin pun tersenyum.
“Tapi El, aku memang benar-benar tertarik sama kamu,” kata Kinu lagi, ia sendiri pun heran, kenapa dia bisa tiba-tiba lancar begitu.
Elin jadi tersipu-sipu mendengar pernyataan Kinu, namun dia tahu Kinu benar-benar tertarik sejak lama kepadanya.
“Kamu ini aneh, Nu, cewek norak dan kuno begini kok ditaksir?”
“Kamu nggak norak dan kuno, El. Coba saja kamu ke sekolah sekarang tanpa kacamata dan rambut kepangmu, pasti banyak yang setuju dengan pendapatku, bahwa kamu sebenarnya cantik sekali. Jadi aku nggak salah tertarik sama kamu, kan?”
Lagi-lagi Elin tersipu, tiba-tiba saja banyak bunga mekar di hatinya mendengar ucapan Kinu itu.
“Tapi aku lebih suka pakai kacamata dan rambut kepang kalau ke sekolah, nanti rambutku akan kukepang. Dan contact lens-nya kulepas.”
“Kenapa?” Kinu heran, ada cewek yang nggak mau kelihatan cantik, gimana sih?
Tapi apa jawab Elin.
“Lebih aman dan tenang dengan penampilan begitu, Nu.”
Hmm… bener juga, pikir Kinu. Dengan penampilan norak, pasti nggak banyak cowok yang usil. Belajar bisa aman dan tenang. Elin benar-benar cewek yang “beda” pikir Kinu.
“Mm…” Kinu tiba-tiba serba salah, tiba-tiba dia takut Elin akan banyak dapat godaan setelah penampilannya berubah.
“Ada apa, Nu?” tanya Elin melihat Kinu gelisah.
“Bolehkan aku setiap malam Minggu ke rumahmu? Tapi kalau kamu pake kacamata itu lagi dan rambut kepang ke sekolah, nggak apa apa, asal setiap malam minggu aku melihatmu seperti ini,” ujar Kinu dan tak sabar ia ingin segera mendengar jawaban Elin.
Elin tersipu, mereka saling berpandangan. “Ya liat aja nanti,” jawab Elin penuh arti.
Kinu merasa lega, YESS! Teriaknya dalam hati, tapi Kinu berharap Elin datang ke sekolah dengan penampilan seperti malam ini, agar teman-temannya bisa melihat siapa Elin yang sebenarnya.
Kinu yakin teman-temannya nanti pasti bilang, kalau dia tidak salah sudah memilih Elin, si gadis cantik yang sengaja menyembunyikan kecantikannya.
0 komentar:
Posting Komentar