Melodi Cinta Topan dan Viela

“Mau ke mana, Pan?’ sergah Roni saat dilihatnya Topan buru-buru beranjak dari bangkunya.

“Lo kayak nggak tau aja, sebentar lagi malaikat cerewet itu nongol, mending gue nyari udara seger di luar. Ntar kalo ada yang bisa lo bantu, bantuin gue ya?”
“Enak aja lo!” sungut Roni.

“Kan lo temen gue yang baik.”
“Iya deh, iya. Gue tau lo di luar lagi ngincer Viela, kan? Moga-moga aja lo ditolak, biar minum racun serangga, lo!”

“Ha ha ha! Nggak mungkin Meeennn!” Topan buru-buru ngacir keluar.

Bukan cuma guru Killer itu yang jadi alasan Topan, tapi karena jam ketiga ini, Viela praktek olahraga, jadi Topan bisa ngegodain cewek itu dari jauh sambil ngeliat body-nya yang keren, kakinya yang mulus dan terutama senyumnya yang bikin Topan Puyeng itu.
Baru saja Topan sampe di lobby, anak anak kelas Viela baru saja berhamburan dari kelasnya, suara mereka berisik, seperti burung yang dilepas dari kandangnya. Topan celingukan nyari Viela, parkit lincah berkaki mulus yang punya senyum lebih legit dari brownies itu.

Nah itu dia….

“Eh, sempit tauk, enam juta penduduk Jakarta berjubel kayak ikan dalam kranjang….”

“Kayak petugas sensus aja, lo!” ketus Topan sama cewek gendut yang sengaja nabrak Topan dari belakang, sekretaris kelasnya Viela. Terang aja, Topan menghalangi jalan cewek itu yang gak mau ribet dihalang-halangi, yang katanya sih udah lama setengah mati diet buat ngurusin badannya.

“Liat-liat dong kalo jalan, orang segede aku gini kok gak kelihatan,” sengit Topan saat cewek gemuk itu masih berkacak pinggang di depannya.

“Eh, elo yang gak liat, celingak-celinguk… nyari siapa lo? Hmm, gue tau, lo mau lihat paha kita-kita kan.”

“Paha…? Paha siapa?”

“Paha sapi!”

“Emang paha lo gede kayak paha sapi!” Topan ngacir.

“Eh brengsek, gue smackdown lo baru tau rasa…!!”

Topan terus ngacir sambil ngetawain tuh cewek.

Tak jauh di depan, Viela lagi jalan gandengan sama teman-temannya. Jantung Topan berdebar kencang, inilah cewek yang membuat Topan berani mengorbankan pelajaran Bu Rani, guru Bahasa Indonesia yang galak banget bin cerewet itu. Daripada bete nerima pelajaran Bu Rani, mending nyari pemandangan seger di luar, begitu pikir Topan.

“Pan!” Arief tiba-tiba narik tangan Topan.

“Eh Rif, sorry, gue nggak ngeliat lo. Eh salam gue kemaren gimana?” Tanya Topan berbisik ke kuping Arif.

“O… salam lo….”

“Udah lo sampein, kan?”

“Udah, dia cuma senyum doang.”

“Senyum? Gak ada yang laen?”

“Gak ada, malah….” Arif ketawa.

“Maksud lo dia ngetawain gue?’

“Ntar gue sampein lagi yang serius deh….”

“Sialan lo!” Topan buru-buru ninggalin Arif, tapi saat berbalik, jantung Topan berdebar lagi dengan kencang saat melihat siapa yang sudah berdiri di depannya, dengan celana training yang pendek ketat. Dia menyapaku? Pikir Topan gembira.

“Viel….”

“Ada apa Pan, penting banget kayaknya…?’

Mmm… salam gue gimana?” tembak Topan langsung sambil mamerin senyum cute-nya dan tentu saja matanya yang penuh dengan cinta….

“Yang disampein Arif kemaren?”

“Mmm… iya.”

“Sementara gue tampung dulu ya, tunggu aja deh….”

“Kayak kotak saran aja ditampung dulu,” canda Topan sambil garuk-garuk kepalanya yang gak gatal, salah tingkah. Meskipun jawaban yang terlontar dari bibir mungil Viela kurang menyenangkan, tapi Topan menganggap itu masih lebih bagus daripada dicuekin. Saat Viela berlari-lari menuju lapangan, Topan masih bisa menikmati kaki bagus yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu, yang rambut panjangnya tergerai seakan berkata, “kejarlah daku topan… ntar kamu kujitak.”

***

“Topan….”

“Ya Bu…,” Topan kikuk, sebel.

“Kenapa kamu suka bolos kalau saya masuk?” Ibu Rani muncul, padahal bukan jam pelajaran dia di kelas Topan.

“Pelajaran saya tidak kamu sukai, katanya haree geneee masih belajar bahasa Indonesia, kan dari bayi udah bisa bahasa Indonesia. Iya, kamu yang ngomong begitu?”

“Nggak Bu, bukan saya.”

“Jadi siapa?”

“Roni, Bu, dia juga gak suka sama pelajaran Ibu.”

“Suka Bu, Topan fitnah!” balas Roni teriak.

“Ayo Topan, kenapa kamu tidak suka sama Ibu?”

“Dia lagi jatuh cinta, Bu. Sama anak dua A3, namanya Viela. Pas pelajaran Ibu mereka olahraga, Topan milih keluar melihat pemandangan alam katanya, Bu.”

Seisi kelas riuh menertawai Topan.

“Apalagi anak-anak dua A3 kalo olahraga hobi pake celana dan tank top ketat, Bu!” Tambah Muti yang udah lama diem-diem naksir Topan tapi nggak pernah direspon Topan.

“Jadi karena alasan itu kamu tidak suka pelajaran Bahasa saya? Ya Topan?” serang Bu Rani.

“Bukan begitu, Bu.”

“Katanya Ibu juga galak, mulut Ibu bawel!”

“Eh, kambing, lo!” ketus Topan.

“Muti, jaga mulutmu, ya!” pelotot Ibu Rani.
Seisi kelas tambah riuh.

“Mulai sekarang Ibu tidak mau lagi ada anak yang bolos di jam pelajaran Ibu, Cuma gara-gara naksir cewek, pelajaran diabaikan, mau jadi apa kalian, pacaran aja yang diurusin. Sebentar lagi Ibu masuk, kalian tunggu dan tak ada yang boleh kaluar! Ngerti?”

“Ngerti Buuu…!!!” jawab seisi kelas.

Topan garuk-garuk kepala, dia gagal kali ini ketemu Viela, dan terutama menghindari pelajaran Bu Rani.

***

“Pan… pan, elo mau traktir gue apa nih?” Roni yang baru abis dari kantin teriak-teriak mencari Topan.

“Ada apa Ron?” Tanya Topan penasaran.

“Traktir gue, pokoknya sampe kenyang!”

“Beres, tapi apa dulu dong?”

“Viela….”

“Kenapa Viela?”

“Tapi traktir gue, ya.”

“Beres, apa aja lo minta deh, pokoknya kalo soal Viela beres….”

“Salam lo diterima, Tanya Arif kalo nggak percaya, dia juga nyampein ke Arif, tapi karena gue temen sekelas lo, katanya biar lebih cepet, gue aja yang nyampein.”

“Hah... yang bener?”

“Katanya dia suka sama cowok kayak lo, cuek, cute, berani, ngocol, nekat, dan banyak deh komentarnya.”

“Ah... yang bener lo, Ron!?”

“Samber gledek lo sendirian, kalo gue bohong.”

“Jangan gue sendiri, bareng-bareng dong.”

“Terserah deh pokoknya, usul gue, lo tembak langsung aja, jeger! Jeger! Jeger! Pulang ntar lo barengin ya, sekalian janjian, ntar malam kan malam minggu. Kalo nggak lo bisa keduluan gue!”

“Jeger jeger, memangnya nembak celeng.”

Topan bangkit dari duduknya.

“Yessss!!!” teriaknya keras, sampe ludahnya berhamburan ke wajah Roni.

“Sialan lo Pan, hujan lokal nih.”

“Sori... sori, lo tunggu gue, gue traktir semuanya sekarang juga!” Topan lari keluar kelas.

Roni dan anak-anak yang sudah hadir di kelas langsung tereak kegirangan. Beberapa menit kemudian Topan muncul, dikira Topan bawa makanan enak seperti brownies kukus dan lemper isi abon dari kantin Bu Sarmila, gak taunya singkong, ubi, gemblong segede-gede sandal jepit yang biasa dijual di warung kopi Kang Jaja yang ada di luar sekolahan.
Kontan aja beberapa potong ubi goreng melayang di udara mengenai kepala Topan dan Roni.

Malam Minggu, Topan siap-siap apel. Viela bukan cuma nerima salam Topan, tapi juga udah nyuruh Topan datang malam Minggu. Dengan kemeja kotak-kotak biru, celana jeans sedikit belel, sepatu Cole cokelat kulit kanguru, Topan tampak keren dan macho. Topan dengan gembira melangkah keluar rumah, senyumnya cerah, seperti langit malam yang penuh dengan bintang-bintang.
Sampai di rumah Viela, dada Topan berdebar tak karuan, tapi sekuat tenaga berusaha ditentramkannya. Topan segera memencet bel di pintu pagar yang sedikit dipenuhi semak bunga bougenville. Beberapa detik kemudian muncul Viela, rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai, dia memakai jeans sebatas lutut yang ketat dengan atasan T-shirt tak berlengan.

“Hai, Pan, yuk masuk!”

Topan melangkah masuk, debar jantungnya makin bertalu, tapi berusaha ditentramkannya.

Sehabis menyalakan lampu teras, Viela menyilakan Topan duduk.

“Bentar ya, Pan. Aku mandi dulu.”

“Loh, emangnya kamu belum mandi?”

“Belom, abis kamu kecepetan sih datangnya, baru aja jam tujuh.”

Topan melirik jam tangannya.

“O iya ya, masih sore….”

“Nggak pa pa sih, cuma kamu semangat banget ya kelihatannya, hi hi hi!” Viela terkikik geli.

Topan garuk-garuk kepala.

“Mau minum apa, Pan? Teh, kopi, atau mau yang dingin, atau air putih aja.”

“Mm… nggak usah repot-repot deh, air putih aja.”

“Wah kebetulan, emang adanya cuma air putih kok.” Masih sambil cekikik geli Viela lalu berlenggak-lenggok masuk ke dalam.

Topan garuk-garuk kepala lagi. Kena dia…
.
Nggak lama kemudian Viela muncul, udah ganti baju yang lebih rileks, nyante banget, Cuma wajahnya kini dipolesi bedak tipis dan bibirnya merah seger dipakaiin lipstick glossy. Topan terpana….

“Ngomong dong Pan, kok jadi salah tingkah kelihatannya?”

Topan yang biasanya jago ngocol masih terus salah tingkah, bibirnya bingung mo bicara apa yang enak. Tapi alangkah kagetnya Topan saat kemudian muncul pembantu membawa nampan berisi dua gelas air putih dan menyilakannya untuk minum yang dihidangkannya.

“Trima kasih ya, Ma. Kok cuma air putih Ma, kue-kuenya mana?”

Sekujur tubuh Topan kejang-kejang. “Bu Rani….”

“Masih mending air putih, bisa dipake dukun buat ngobatin orang, untung nggak Mama kasih racun serangga sekalian tadi.”

“Ih Mama, jahat banget….”

Bu Rani dengan bergaya pembantu lalu balik ke dalam.

Viela tersenyum geli.

“Ayo Pan, diminum, kenapa?”

“Mm… gue… gue pulang aja deh, Bu Rani… Bu Rani itu nyo….”

“Lo, emangnya kamu nggak tau kalo Bu Rani Nyokap gue?”

Topan geleng-geleng kepala. “ Nggak… gue baru tau sekarang. Sumpah, samber gledek bareng-bareng….”

“Ya udah, nyokap gue baek kok orangnya….”

“Bukan begitu Viel, tapi gue….”

“Gue ngerti, kamu sebel banget sama pelajarannya kan, juga orangnya kan?”

“Viel, jadi kamu membalas salam gue dan nyuruh datang malam Minggu supaya gue dikerjain sama nyokap kamu, terus supaya besok-besok gue nggak nakal lagi dan Nyokap kamu jadi nggak repot lagi ngurusin anak bandel kayak gue?”.

“Doo… yang perasaan, bukan begitu maksudnya Pan. Kamu gue suruh ke mari malam Minggu karena kamu cowok istimewa buat gue. Soal Bu Rani yang lo sebelin itu kebetulan nyokap gue, kan cuma kebetulan doang. Sekarang tinggal kamu, gimana menurut kamu persoalan kita, kamu suka tantangan, kan?”

Topan diam sesaat. “Tantangan apa dulu, kalo ditantang Chris Jhon sih gue nyerah,” Topan berusaha bercanda.

“Ya ngambil hati nyokap gue, dong.”

Topan berdiri. Viela terlihat kecewa.

“Salam deh buat Bu Rani, malam Minggu depan kalo gue apel lagi, gue bawain apel.”

“Jangan cuma apel, Pan. Martabak keju kesukaan nyokap gue juga….”

“Mmm… iya deh.” Pantesan Bu Rani gendut, demen martabak keju sih, pikir Topan dalam hati ngedumel.

Dan malam Minggu yang indah pun berlalu, tapi juga malam yang bikin Topan serba salah. Tadi Topan maunya pulang agak maleman, tapi Topan ngeliat Bu Rani sering ngintip dari gorden pembatas ruangan, matanya melotot galak.

***

Topan berubah jadi cowok paling kalem sedunia sejak dia sadar kalau Viela adalah anak Bu Rani yang disebelinnya, biarpun Topan udah kalem dan selalu hadir nomer satu di pelajaran Bu Rani, tetap saja dia harus mengambil hati Bu Rani, caranya udah dijalani Topan dengan membawa sekeranjang apel New Zealand dan martabak keju, juga martabak telor. Eh itu malah bukannya membuat Bu Rani senang, tapi dianggapnya sesuatu yang melecehkan baginya.

“Kamu nggak usah bawa-bawa apel segala, martabak segala, Ibu tahu kamu suka sama Viela, tapi bukan dengan cara membeli saya, emangnya saya bisa ditukar sama martabak?”
Topan cuma diam.

“Kalau kamu tahu, sejak SMP Viela sebenarnya sudah saya jodohkan.”

“Dijodohkan Bu, sama siapa? Sama saya?” Topan tersentak.

“Sama kamu? Anak nggak pintar kayak kamu kok mau dijodohin sama anak saya.”

“Jadi mau dijodohon sama siapa, Bu?” Tanya Topan hati-hati.

“Mau tau aja!”

Bu Rani juga selalu melirik Topan kalau dia melihat Topan sedang menunggu Viela di depan kelas. Jalan ke kantin, pulang bareng, semua ulah Topan dicurigai. Topan jadi pusing. Menunggu Bu Rani pensiun masih lama, dipindahin sama pemerintah ke Papua, nggak mungkin. Coba kalo gue dulu gak sebel sama Bu Rani, mungkin nggak begini jadinya, sesal Topan. Meskipun Bu Rani kelihatannya baik, dan agak suka becanda, tapi batinnya, Topan ngerasa dia menolak keras, nggak nerima anaknya dipacarin, apalagi lewat jalan belakang.

“Pan!” tiba-tiba Roni menepuk bahu Topan dari belakang.

“Topan kaget, disikutnya perut Roni. “Ganggu gue aja lo, sono,” hardiknya.

Lalu Roni cekikikan melihat buku Bahasa Indonesia Topan yang disampul rapi banget, kayak buku anak kelas 1 SD.

“Kusut amat lo Pan. Udah deh, lo cari aja cewek laen, Viela emang cakep, tapi nyokapnya. Gue heran, Viela cakep, nyokapnya kok ancur. Bokapnya kali keren, ya, Pan?”

“Nggak tau gue, gue nggak pernah ketemu bokapnya.”

“Kalo lo nyium Viela, terus kebayang bibir Bu Rani yang lebar itu, sama aja nyium bibirnya Bu Rani, lo.”

“Brengsek, lo, Ron.”

Roni cekikikan.

Tiba-tiba Viela muncul di depan pintu, tersenyum. “Gue denger apa yang kalian omongin. Ntar malam Minggu ke rumah ya Pan, ada hal penting yang mo gue omongin.”
“Soal apaan Vi?”

“Sekarang apa ntar malam?”

“Sekarang aja deh,” desak Topan.

“Oke… dengerin ya. Bu Rani itu sebenarnya bukan nyokap kandung gue, dia Ibu angkat gue.”

“Maksud lo?”

“Maksudnya lo nggak usah lagi mikirin Bu Rani meskipun dia nggak suka sama lo, gue sendiri suatu saat nanti akan nentukan masa depan gue sendiri, kebetulan aja Bu Rani jadi nyokap gue, tapi dia memang baik dan sayang banget sama gue, udah bikin gue segede ini, seksi lagi.”

“Lantas nyokap kandung kamu di mana?” Tanya Roni penasaran.

“Gue anak adopsi.”

“Adopsi dari mana?” kejar Roni lagi, sementara Topan masih nggak percaya kalau Viela yang dicintainya nggak jelas asal-usulnya.

Viela tertunduk, wajahnya tiba-tiba sedih, Topan dengan prihatin mendekati Viela dan membelai rambutnya. “Maafin Roni, Viel. Dia kalo nanya nyeplos aja.”

Viela menggeleng. “Nggak apa apa kok, Pan. Nyokap pernah cerita, yang ngelahirin gue seorang Ibu kurang mampu, Ibu itu nggak punya uang buat nebus biaya melahirkan, seminggu setelah melahirkan, katanya dia pergi minjam uang ke saudaranya dan menitipkan anaknya sementara di rumah sakit, tapi kemudian dia nggak pernah balik lagi ke rumah sakit. Terus gue diambil Bu Rani. Kata suster di rumah sakit, perempuan yang ngelahirin gue cakep, terbukti kan, gue cantik….” Viela berusaha tersenyum.

Topan juga tersenyum, kembali dibelainya rambut Viela. Kalau cuma Bu Rani penghalang mencintai Rani, kecil, nggak ada apa-apanya, tegas Topan dalam hati, tapi Bu Rani kan udah berjasa ngebesarin Viela, lagian kasihan Bu Rani, sampe sekarang dia belum menikah juga, padahal umurnya udah hampir lima puluh tahun. Tiba-tiba terbersit rasa kasihan yang dalam di hati Topan kepada Bu Rani, sementara cinta dan kasih sayang yang dirasakan Topan kepada Viela pun tambah menggunung, dan Topan ingin selalu melindunginya setiap saat.

“Topan!” Bu Rani tibatiba sudah berdiri di antara mereka, matanya melotot.

Topan gugup.
“Gue gak ikutan!” Roni langsung menjauh.
Tapi Topan segera menangkap tangan Bu Rani dan menciumnya. “Topan janji akan menjaga Viela Bu, Topan nggak akan bolos lagi, Topan juga mau kalau dijadikan anak angkat Bu Rani, Topan senang sama pelajaran Bu Rani….”
Bu Rani menarik-narik tangannya tapi Topan terus menciumnya, hingga akhirnya Bu Rani Luluh dan membiarkan tangannya diciumi Topan, sementara Viela tersenyum senang, Topan pasti bisa mengambil hati Bu Rani, mamaku tersayang, yakin Viela dalam hati sambil menahan senyum melihat ulah Topan yang masih terus menciumi tangan Mamanya..

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...