04.19 -
Cerpen
No comments
Love is Like Water
“Coba telepon ke rumahnya, Dini!” kata Meinar setibanya di rumah Dini.
“Hanya Bik Genah, si pembantu rumah tangga yang menunggu rumah itu, Mei,” ujar Dini.
“Apa kata Bik Genah?” Meinar bertanya lagi.
“Katanya, Emir pamit kepada seisi rumah pada hari libur pertama.
Bersamaan dengan kepergian Emir, 0m Faruk dan Tante Lili kembali ke tempat tugas di Sydney. Jadi, kusimpulkan, Emir enggak ikut orangtuanya, Mei.” Dini menjelaskan.
“Ya, pasti enggaklah,” ujar Meinar. “Sebab, setahuku, sejak lahir sampai selesai sekolah setingkat SMP dia di luar negeri melulu. Bayangkan, selama sembilan tahun Emir berada di berbagai kota di benua Amerika, Eropa, dan Australia. Kata Emir, dia sudah bosan di luar negeri. Dia ingin menetap di Indonesia yang hijau,” cerita Mei.
Seingat Dini, selama di SMA, Emir adalah pencinta alam. Setiap libur dia menjelajah berbagai pulau. Baginya, dana tidak pernah jadi masalah. Bunga depositonya selalu mencukupi kebutuhannya.
“Anak tunggal 0m Faruk dan Tante Lili itu memang gadis petualang,” kata Mei setelah menghabiskan es krim vanila yang dihidangkan Dini. “Dia suka menyendiri, menulis catatan harian, memotret, membuat film dokumenter, dan bertanya kepada siapa saja yang ditemuinya,” sambung Meinar.
Mariam, teman sebangku Emiriana punya pendapat lain tentang kesenangan Emir bertualang.
“Emir merasa kesepian bila selalu sendirian di rumah,” kata Mariam suatu hari di kelas kepada Dini dan Meinar.
“Untuk apa dua pembantu rumah tangga, Bik Genah dan suaminya, Mang Udin?” tanya Dini, hari itu, di kelas, saat jam istirahat.
“Din, enggak nyambung pikiran Emir dan pikiran suami-istri itu,” tukas Mariam. “Emir itu kutu buku sejak kecil. Saat di TK, katanya, dia sudah biasa membaca buku cerita. Sedang Bik Genah dan suaminya membaca saja masih mengeja. Jadi, kedua manusia paruh baya itu bagi Emir benar-benar sekadar teman. Tak lebih dari itu,” tambah Mariam.
Dini dan Meinar mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar cerita Mariam itu.
“Aku makin ngerti tentang Emiriana,” bisik Meinar.
“Dia kan anak orang-orang pintar, Mei,” kata Dini.
“Yes, my dear, I see,” ujar Meinar..
Emiriana sangat sadar, dia itu adalah anak tunggal orang pintar. Kalau tidak pintar, tidak mungkinlah mereka bisa jadi staf di kedutaan. Tetapi, di kelas, selama ini, Emir tidak menonjol. Setiap terima rapor maupun kenaikan kelas, dia paling tinggi mendapat ranking sepuluh di kelas. Hal itu selalu menjadi pikiran Emir. Sering sekali, Emir merasa dirinya tidak cerdas. Dia paham, tidak selalu anak orang pintar sama pintarnya dengan orangtuanya. Sebaliknya, tidak jarang anak-anak orang biasa, wong ndeso, bisa saja berotak cerdas.
Sebenarnya, Emiriana mengembara setiap hari libur adalah dalam rangka mencari tahu banyak hal tentang kehidupan ini. Terutama, dia ingin bertanya apa saja tentang misteri dirinya sendiri.
Sungguhpun Emir tidak menjadi siswi yang menonjol di bidang pelajaran di sekolah, dia tidak rendah diri. Emir telah menemukan kekuatan di bidang lain, yakni bidang seni, terutama seni rupa dan seni sastra. Lukisan-lukisannya, puisi dan cerita pendeknya sudah menghiasi majalah dinding di sekolah dan dimuat di majalah yang berbobot di luar sekolah. Saat kelas naik kelas dua, Emir sudah berani pameran tunggal lukisannya di Galeri Nasional. Saat itu 57 lukisannya dipamerkan dan mendapat perhatian para kritikus dan kolektor lukisan.
Jika Emir disebut-sebut sebagai siswi yang kecerdasannya biasa-biasa saja, itu dia terima dengan ikhlas. Bila kecerdasan yang biasa-biasa saja itu dinilai orang lain adalah suatu kekurangan, Emir pun paham. Dia telah belajar sekeras-sekerasnya. Lalu, apa yang dia banggakan di usia remaja? Kecantikan? No way! Emir tidak pernah merasa dirinya cantik atau bertubuh indah. Fisiknya biasa-biasa saja. Kulitnya hitam manis. Tubuhnya boleh dibilang ceking.
“Di dalam hidup ini harus ada yang kita banggakan, Emir,” kata Ayah suatu hari, sebelum kembali ke tempat tugas, di Sydney. “Nah, pertanyaan Ayah, apa yang Emir banggakan di usia remajamu?” sambung Ayah Faruk.
“Menurut pendapat Ayah, apa yang patut Emir banggakan?” Emir balik bertanya kepada Ayah.
“Prestasimu di bidang seni lukis dan seni sastra, Ayah kira,” jawab Ayah.
“Apakah pendapat Ayah itu tidak sekadar untuk menyenangkan hati Emir?”
“Pendapat Ayah disertai bukti, yakni prestasimu itu sendiri, Sayangku!”
Maka, Emir hakkul yakin, dia telah menemukan kelebihan di dalam dirinya, yakni bakat seni rupa dan seni sastra. Selanjutnya, bakat itu dia asah terus, dan dia latih tanpa henti agar menjadi besar dan terus besar. Namun, prestasi yang telah dicapainya tidak menjadikan dia besar kepala atau congkak. Justru, dia semakin rendah hati, dan semakin senang merenung dan bertualang mencari sesuatu yang baru.
***
Suatu hari, dalam pengembaraannya di Sumatera Selatan, di kabupaten Tanjung Enim, Emir menemukan air terjun kecil. Di bawah air terjun kecil itu tampak batu-batu cadas raksasa yang kukuh dan keras. Tetapi, setelah bertahun-tahun, air terjun kecil itu jatuh dan jatuh terus-menerus menimpa batu-batu raksasa Cadas yang keras dan tegar itu, akhirnya batu-batu itu berlubang. Air terjun kecil itu berhasil membuat lubang pada batu cadas yang keras itu. Menyaksikan kejadian alamiah itu, Emir lama merenung.
“Apa yang Anak temukann di air terjun kecil ini?” Seseorang bertanya kepada Emir.
“Kakek ini siapa?” Emir bertanya dalam keterkejutannya.
“Namaku Kurun,” jawab si kakek berjenggot putih. “Aku menjaga kebun kopi di lembah sana!” Si Kakek menunjuk ke lembah.
“0h, Kakek memiliki kebun kopi yang luas sekali!” puji Emir.
“Bukan milikku, Nak. Em, siapa namamu?”.
“Emiriana. Sehari-hari, aku disapa Emir, Kek. Eh, em, jadi itu kebun kopi siapa?”
“0rang kota menyuruhku menjaganya.”
“0h, Kakek dipercaya, ya?”
“Ya, Nak. Kepercayaan itu bagi Kakek sangat mahal.”
Si Kakek beruban, berjenggot putih, dan bertongkat memuji keberanian Emir menjelajah. Katanya, sangat langka seorang gadis berani mengembara seorang diri dan berpakaian seperti busana lelaki pula.
“Jadi apa yang Anak cari?” tanya Si Kakek pula.
“Aku mencari pengalaman baru dan pengetahuan baru karena aku merasa miskin di kedua hal itu,” jawab Emir sejujurnya.
“Bagus!” ujar Si Kakek sambil menunjukkan kedua jari jempol tangannya.
Ketika Si Kakek kembali ke kebun kopi yang dijaganya, sadarlah Emir. Hari libur tinggal dua hari lagi. Maka segera dia berkemas untuk menuju Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II di Palembang. Pagi-pagi sekali dia akan terbang ke Jakarta karena lusa, sekolah sudah dimulai lagi.
***
Tiba di sekolah, Emir dikerubungi teman-temannya. Banyak pertanyaan diajukan kepadanya. Apa jawab Emir?
“Tunggu jawabannya dalam buku pertamaku yang akan terbit,” jawabnya sambil tersenyum.
“Buku apa, sih?” desak Dini.
“Lihat saja nanti…,” kata Emiriana sambil tersenyum..
0 komentar:
Posting Komentar